Selasa, 23 September 2014

SEJARAH SINGKAT

Harita, dina mangsa awal proklamasi kamerdekaan Republik Indonesia anu diproklamirkeun ku bapa Ir. Soekarno jeung bapa Drs. Mohammad Hatta dina tanggal 17 Agustus 1945, pulo Jawa jadi tilu bagian, diantarana :

Ø   Jawa Barat Ibu kota di Bandung
Ø   Jawa Tengah Ibu kota di Semarang
Ø   Jawa Timur Ibu kota di Surabaya
Saterusna disebut propinsi, anu dipingpin ku saurang Gubernur.
          Jawa Barat dibagi lima karesidenan, nyaeta :
1.      Karesidenan Banten Ibu kotana di Serang
2.      Karesidenan Jakarta Ibu kotana di Purwakarta
3.      Karesidenan Bogor Ibu kotana di Bogor
4.      Karesidenan Priyangan Ibu kotana di Bandung
5.      Karesidenan Cirebon Ibu kotana di Cirebon

          Propinsi Jawa Barat sok disebut tanah Pasundan anu harita wilayahna nu tangtu di cicingan ku masarakat anu marake Basa Sunda.

          Tapi, warga laut Kaler mah henteu ngagunakeun Basa Sunda tapi Basa Jawa, naon sababna?
          Ceuk sajarah mah, eta teh dilantarankeun pageuh kaitanana jeung panyerangan Sultan Agung Mataram ka pamarentahan Walanda ngaliwatan jalan darat di sapanjang laut kaler Jawa Barat anu ngakibatkeun loba laskar Sultan Agung anu katinggaleun, saentosna Bitotama teu bisa ka lemburna.

          Karesidenan Cirebon kabagi opat Kabupaten, nyaeta Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, jeung Kabupaten Kuningan.

          Ari Kabupaten Kuningan diwangun jadi opat kawadanan, nyaeta Kawadanan Kuningan, Kawadanan Ciawigebang, Kawadanan Cilimus, jeung Kawadanan Luragung.

          Ari Kawadanan Luragung diwangun  jadi opat kacamatan, nyaeta Kacamatan Luragung, Kacamatan Cibingbin, Kacamatan Ciwaru, jeung Kacamatan Subang.

          Kacamatan Subang diwangun jadi dalapan desa, nyaeta Desa Subang, Desa Gunung Aci, Desa Situgede, Desa Patala, Desa Bungur Beres, Desa Cilebak, Desa Legok Herang, Desa jalatrang, jeung Desa Pamulihan.

          Desa Subang diwangun jadi sababaraha kampung anu harita mah dipingpin ku kulisi anu diangkat ku kuwu. Kampung-kampungna waktu harita : Kampung Tarikolot, Subang, Kancana,Cijambu, Cililitan, Bojong, Cicapar ( Cirahayu ), Bugel ( Bangunsari ), jeung Tangkolo.

          Terus aya kamantren cilebak (nu Ayena ges jasi kecamatan Cilebak) anu ngaliputi, Desa Cilebak, Desa Legok Herang, Desa Mandapa Jaya, Desa Jalatrang, Desa Bungur Beres, Desa Patala.

DEFINISI UPACARA ADAT

Upacara adat adalah salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat Indonesia pada masa praaksara dapat kita jumpai pada upacara-upacara adat.pada bahasan kali ini kita akan membahas tentang pengertian upacara adat dan juga contoh-contoh upacara adat yang ada di Indonesia yang merupakan warisan nenek moyang kita.


UPACARA
Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara yang dimaksud bukanlah upacara dalam pengertian upacara yang secara formal sering dilakukan, seperti upacara penghormatan bendera. Melacak melalui upacara, yaitu upacara yang pada umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah. Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan, upacara labuhan, upacara camas pusaka dan sebagainya. Upacara adat yang dilakukan di daerah, sebenar- nya juga tidak lepas dari unsur sejarah. 

Upacara pada dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan lain-lain.

Contoh upacara yang lain adalah upacara atau semacam perayaan penghormatan terhadap Dewi Sri yang hidup di masyarakat daerah pertanian. Cerita Dewi Sri adalah cerita tentang asal usul Padi. Biasanya upacara ini dilaksanakan pada masa akhir panen.
Pada masyarakat yang hidup di daerah pantai, terdapat upacara penghormatan kepada dewi penguasa laut yaitu Nyi Roro Kidul. Seperti halnya dalam upacara Dewi Sri, dalam upacara ini juga diadakan sesajen yang ditujukan kepada Nyi Roro Kidul. Tujuan dari upacara ini adalah agar Nyi Roro Kidul selalu memberikan perlindungan dan keberkahan kepada para nelayan selama mereka menangkap ikan di laut.
Selain upacara yang ditujukan kepada tokoh-tokoh yang bersifat mitos (Nyi Roro Kidul dan Dewi Sri) terdapat pula upacara yang memiliki nilai sejarah yang berkaitan dengan peristiwa tertentu. Upacara tersebut, misalnya upacara “Grebeg Mulud”, yang dilaksanakan di Keraton Jogyakarta. Upacara ini memiliki nilai historis, terutama berkaitan dengan proses islamisasi. Kegiatan seperti ini biasanya dilakukan pada setiap bulan Maulid, suatu bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. Upacara sejenis dilakukan pula di Keraton Cirebon. Selain upacara Grebeg Mulud, di daerah Panjalu terdapat upacara yang disebut dengan upacara “Nyangku”. Upacara ini dilakukan dalam kaitannya dengan proses islamisasi yang dilakukan di daerah tersebut dengan tokohnya yang terkenal bernama “Borosngora”.

SEJARAH SINGKAT KEC. SUABNG

1. Sekilas Sejarah.

Sebagai manusia yang beradab, kita tidak boleh melupakan sejarah kehidupan manusia terdahulu. Apabila dikaji dengan matang, dari setiap peristiwa sejarah kita akan dapat memetik pelajaran yang berharga. Kita dapat mengambil hikmah dari nilai kemanusiaan yang tersembunyi di balik peristiwa masa lampau. Jika diresapi dengan pemahaman yang lebih dalam, sudah tentu akan memberikan pengaruh yang berarti terhadap arah hidup kita di hari yang akan datang.
Peristiwa-peristiwa yang mengandung nilai sejarah, akan membawa pengaruh dengan segala akibatnya, bahkan ada kemungkinan dapat berpengaruh besar terhadap adanya perubahan jalan sejarah kehidupan suatu bangsa atau umat manusia. Sejarah dalam arti yang sesungguhnya bukan hanya sekedar suatu cerita masa lampau yang memuat silsilah asal-usul keturunan dari sekelompok masyarakat tertentu, tetapi jauh lebih luas dari pada itu.
Oleh karena itu hidup manusia selalu berada dalam tatanan sejarah, manusia adalah mahluk terbaik ciptaan Tuhan yang senantiasa membuat sejarah, memiliki sejarah dan sekaligus menjadi pelaku sejarah. Sejarah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Menurut pendapat para ahli bahasa, istilah sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajara yang berarti pohon atau asal usul, sedangkan yang dimaksud dengan History, mengandung arti cerita masa lampau. Bertitik tolak dari pengertian ini, dalam kehidupan sehari-hari, maka yang dimaksud dengan sejarah adalah suatu cerita masa lampau tentang kehidupan umat manusia, yang akan selalu mengikuti kehidupan berikutnya dan melekat pada setiap aktivitas manusia yang hidup di masa kini dan yang akan hidup di masa yang akan datang.
Dari pengetahuan sejarah, kita dapat mempelajari proses perubahan kehidupan manusia dan lingkungannya melalui dimensi waktu, ruang atau tempat dan peristiwa yang pernah terjadi.
Sejarah merupakan gambaran masa lampau yang dibuat oleh manusia sekarang menjadi suatu cerita, dengan merangkaikan segala peristiwa yang pernah terjadi pada waktunya di tempat tertentu menjadi satu keseluruhan tindakan manusia yang utuh dan benar. Jadi sejarah ini merupakan rekonstruksi peristiwa yang pernah terjadi yang meninggalkan jejak-jejak masa lampau sebagai bukti atas pernah terjadinya sesuatu peristiwa.
Berdasarkan kepada jejak-jejak yang ditemukan, maka diungkapkan fakta-fakta untuk kemudian direkonstruksi menjadi sejarah yang utuh untuk dikaji permasalahannya dan perkembangannya dari masa lampau sampai masa kini, untuk dijadikan landasan kehidupan di masa datang.
Masa lampau kehidupan manusia senantiasa dijadikan peringatan yang dapat memberikan pengalaman dan pelajaran serta kesan, agar menjadi peringatan bagi setiap manusia dalam bersikap dan beraktivitas.
Berpangkal tolak kepada pemikiran seperti yang telah diuraikan di atas, maka dalam merekonstruksi semua peristiwa yang tidak pernah kita saksikan secara langsung, sudah pasti banyak kelemahan dan kekurangannya, meskipun penyusun sudah berusaha untuk berbuat secermat dan seobyektif mungkin. Masalah subyektifitas tetap akan terjadi, tidak mungkin akan bisa dihindari.
2. Pengertian Cikal Bakal
Menurut pengertian bahasa yang digunakan dalam kehidupan masyarakat kita sehari-hari, yang dimaksud dengan cikal adalah suatu bibit pohon kelapa yang masih kecil, biasanya disebut dengan istilah tunas. Di samping istilah cikal, adapula digunakan istilah cikal bakal yang mengandung perbedaan arti dan berbeda pula dalam penempatannya.
Yang dimaksud dengan cikal bakal dalam pembahasan di sini adalah orang yang mula-mula mendirikan suatu tempat pemukiman atau pedukuhan atau perkampungan atau suatu desa, dan orang yang bersangkutan dipandang oleh masyarakatnya menjadi tokoh yang dihormati dan disegani oleh masyarakat di sekitarnya.
Sejalan dengan pengertian di atas, maka yang disebut cikal bakal adalah perintis dan pendiri pertama dan yang mengembangkan pembangunan di wilayah itu serta didukung oleh masyarakatnya, sehingga dia diangkat menjadi sesepuh yang terkemuka dan dia pulalah yang dianggap menurunkan generasi berikutnya, biasanya oleh keturunanya dianggap sebagai nenek moyang masyarakat setempat.
3. Pengertian Istilah Subang
Subang sekarang ini adalah nama suatu tempat pemukiman atau salah satu perkampungan terbesar di Kecamatan Subang yang berfungsi sebagai Ibu Kota Desa dan Ibu Kota Kecamatan Subang, di Kabupaten Kuningan yang berlokasi di wilayah Selatan, tempat berdirinya salah satu dari empat buah Monumen Nasional Perang Rakyat Semesta. Sebelum berlakunya otonomi daerah, kecamatan Subang dipimpin oleh Asisten Wedana, yang termasuk kedalam wilayah Kewedanan Luragung yang dipimpin oleh Wedana.
Penggunaan istilah Subang di samping sebagai nama tempat pemukiman, digunakan juga untuk nama salah satu sungai yaitu sungai Cisubang yang membelah Desa Pamulihan dengan Desa Jatisari. Selain dari pada itu dipakai pula menjadi nama suatu gunung yaitu gunung Subang yang menjadi hulu sungai Cisubang di Desa Legokherang, yang menjulang tinggi pada salah satu titik garis perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Penggunaan istilah Subang dipakai juga di tempat lain yaitu nama dari salah satu Kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat. Bahkan di luar pulau Jawapun istilah Subang ini oleh para transmigran swakarsa yang berasal dari Subang digunakan menjadi nama suatu desa yaitu Subang Jaya yang berada di Kecamatan Bandar Surabaya di wilayah Provinsi Lampung.
Di luar negeripun yaitu di Negara Tetangga Kita Malaysia ada istilah Subang Jaya yang digunakan untuk nama suatu tempat proyek pengembangan ekonomi dan istilah Subang digunakan juga sebagai nama sebuah pelabuhan udara.
Bahkan pada zaman dahulu kala pernah digunakan juga untuk nama seorang wanita yaitu Nyi Ratu Subang Larang keturunan Raja-raja Pajajaran dan menjadi prameswari Ratu Agung Pajajaran di tanah Sunda yang bernama Sri Ratu Dewata Wisesa yang mashur disebut Sri Maha Prabu Siliwangi. Dari Prameswari Nyi Ratu Subang Larang, Prabu Siliwangi berputra dua orang, satu orang laki-laki bernama Walang Sungsang yang bergelar Pangeran Cakra Buana dan satu lagi adiknya perempuan bernama Nyi Ratu Mas Rara Santang. Kedua putra dari Nyi Ratu Subang Larang dan keturunannya aktif dalam menyiarkan agama Islam di Kesultanan Cirebon.
Subang dalam bahasa Indonesia mengandung arti Giwang yaitu alat perhiasan wanita yang terbuat dari emas, biasanya dipasang di sebelah kiri dan kanan daun telinga. Giwang bagaikan bunga yang sedang mekar berbentuk bundar pipih, yang bertatahkan butir-butir permata. Permata Subang biasanya dibuat dari pada sejenis berlian atau permata lainnya. Oleh karena itu apabila pemakai Subang ini bergerak akan memancarkan sinar yang gemerlapan, apalagi kalau terkena pancaran sinar matahari akan memantulkan cahaya yang berkilau-kilau. Hal ini terpancar sebagai akibat dari banyaknya sudut batu-batu permata berlian yang membentuk bunga mekar yang menempel di Giwang itu.
Selain berarti Giwang, ada juga digunakan istilah subang yang menunjukkan alat perhiasan yang dipasang pada daun telinga wanita juga, namun terbuat dari daun tebu atau daun lontar yang dipotong pendek-pendek dan kecil, dimasukkan di lubang daun telingan wanita sebagai perhiasan manusia di masa lampau.
Menurut keterangan sebagian dari orang tua, bahwa istilah Subang itu sebenarnya berasal dari kata Suban, yang diambil dari istilah aslinya Susuuban. Susuuban secara harfiahnya mengandung arti, suatu rembesan air yang mengalir secara perlahan dan halus melalui lubang pori-pori yang kecil dari tempat lain.
Di dalam bahasa kita terdapat istilah Suban yaitu serpihan kayu atau selumbar yang bertebaran, biasanya disebut tatal penarahan. Selain daripada itu Suban digunakan juga untuk menunjukkan pecahan kaca yang berserakan

SEJARAH ASAL NAMA KUNINGAN

Ada beberapa kemungkinan tentang asal-usulnya Kuningan dijadikan nama daerah ini. Salah satu kemungkinan adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam, yaitu kuningan. Dalam bahasa Sunda (juga bahasa Indonesia), kuningan adalah sejenis logam yang terbuat dari bahan campuran berupa timah, perak dan perunggu. Jika disepuh (dibersihkan dan diberi warna indah) logam kuningan itu akan berwarna kuning mengkilap seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan ini akan tampak bagus dan indah. Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan untuk membuat aneka barang keperluan hidup manusia seperti patung, bokor, kerangka lampu maupun hiasan dinding.
Di Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat SundaJawaMelayu, dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.
Di daerah Ciamis dan Kuningan sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan sesuatu di dalam rumah dan sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokorkuningan yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
Di Ciamis - dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh (masa pra-Islam) bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah timur kota Ciamis, untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak. Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. Sesungguhnya buncitnya perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja.
Pendeta Ajar Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban dari Pendeta tersebut,karena beliau berpikir akal busuknya untuk mengelabui Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah agar pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor kuningan, kuali dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu jatuh di tempat yang berbeda. Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan, kemudian diberi namaKuningan yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis dan terletak antara Kuningan dan Ciamis, sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa Sunda yang artinya penjara besi) terletak di daerah Garut Selatan.
Dalam Babad Cirebon dan tradisi Lisan Legenda Kuningan bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh ulama Islam (wali) bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang lebih sama dengan cerita Ciung Wanara, hanya di dalamnya terdapat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tujuan dan akibat pengujian itu, dan tidak ada peristiwa penendangan bokor. Jika cerita Ciung Wanara menuturkan gambaran zaman kerajaan Galuh yang sepenuhnya bersifat kehinduan atau masa pra-Islam, maka Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa Hindu menuju masa Islam atau pada masa proses Islamisasi. Dengan demikian, isi cerita Ciung Wanara lebih tua daripada isi Babad Cirebon atau tradisi lisan Legenda Kuningan. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung (kota kecamatan yang terletak 19 km sebelah timur Kuningan).

Tidak seperti dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri dilatarbelakangi oleh tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan berakibat pendeta tersebut dihukum mati, dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk menguji keluhuran ilmu Sunan Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi kedudukan keulamaan wali tersebut. Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi laki-laki yang kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung, penguasa daerah Luragung. Selajutnya Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di Cirebon. Setelah dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin atau kepala daerah Kuningan dengan nama Sang Adipati Kuningan.
Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten Kuningan. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.
Menurut tradisi lisan Lagenda Kuningan yang lain, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinami Kuningan. Namun keotentikan Kajene sebaga nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Sementara itu, wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.
Adalagi menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini pada masa awal kerajaan Galuh.
Dalam tradisi agama Hindu terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umatHindu-Bali sekarang. Kuningan menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada periode wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad ke-8 Masehi, Kuningan sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan Galuh (Ciamis sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.

Minggu, 21 September 2014

HALAL BILHALAL + SUNAT MASAL


SEJARAH ASAL MULANYA PESTA DADUNG

Pesta dadung asalan mulaya dikenalkan ke masyarakat luar desa setelah pemimpin atau kepala desa baru, yitu Bapak Angkin Jiwa Laksana pada tahun 1818. Sebelumnya pesta dadung merupakan sarana bermain anak-anak yang diangkat dan dijadikan kebiasaan masyarakat yang ditampilkan dalam pertunjukkan yang lebih menarik. Pada waktu itu kepala Desa mendatangkan grup seniman sunda salendro dan pelog dari Cirebon ditambah tambang atau daddung. Dadung memiliki panjang kurang lebih 12 meter, tujuannya sebagai perkakas ngibing atau menari dan membawaken lagu yang diiringi gamelan. Ibing atau tarian yang dipake adalah tarian/ibing jalak pengkor (burung jalak pincang) hasil kreasi Bapak Angkin Jiwa Laksana. Sedangkan kawih/tembang untuk mengiringi gamelan menggunakan musik kangsreng atau waledan. Kedua musik ini ciptaan Sunan Gunung Djati atau yang biasa disebut Wali Sanga, oleh karena itu pergelarn pesta dadung mempunyai visi untuk melestarikan kehidupan agraris dan berkembangnya ajaran Islam. Sebab dahulu tersebarnya agama Islam sangat efektif melalui kesenian. Perubahan dari sebuah permainan anak-anak ini menjadi sebuah tradisi dan pesta yang meriah dan semarak, hanya mengandalkan sektor pertanian dan peternakan yang diolah secara tradisional setelah hasik panen tiba. Dadung artinya tambang, biasanya dibuat dari kulit kayu waru yang memiliki fungsi untuk mengingat kerbau atau sapi. Seperti ritual-ritual lainnya, pesta dadung dilaksanakan satu kali dalam setahun pada musim panen ketiga (musim kemarau) menghadapai musim hujan tiba. Namun dengan perkembangan jaman dan iklim yang tidak menentun, pelaksanaan pesta ini dilaksanakan setiap tanggal 18 Agusutus terkait dengan perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang bertempat di Balai Desa. 
     Pelaksanaan Pesta Dadaung Pesta dadung awalanya diirng ku gamelan yang kumplit, namun gamelan tersebut terbakar pada masa DI / TII, selanjutnya diganti dengan dogdog dan gamelan pelog dan salendro. Upacara ini mempunyai tahapan dalam pelaksanaannya, tahpan nya adalah : 1. Kebaktian 2. Rajah Pamunah (Tulak Allah atau Qulhu Sungsang) 3. Hiburan yaitu tayuban Upacara akan dimulai apabila semua persiapan dan persyaratan semua sudah terpenuhi, persyaratan itu antara lain: pengumpulan dadung sipuh atau dadung pusaka, yaitu dadung yang paling besar (dadung Keramat) serta dadung yang dimiliki oleh penggembala. Sesajen yang dibangun tinggi, yaitu parawanten, berbagai sirup atau rujak, serta jajanan pasar. Setelah semua persyaratan dianggap kumplit, acara upacara selanjutnya adalah membakar kemenyan dan membaca mantra, seperti ini mantranya : Alloh kaula pangampura parukuyan rat gumilang aseupna si kendi wulang ka gigir ka para nabi ka handap ka ambu ka rama nu calik tungtung damar kadaharan tungtung kukus sakedap kanu kagungan setelah selesai mebacakan mantra, dadung milik para pengembala diambil oleh para pemilik masing-masing, sedangkan dadung keramat disimpan dalam tampan yang dibawa oleh ronggeng (penari perempuan) sambil menari. Dadung tersebut selanjutnya diberikan kepada kepala desa serta diserahterimakan kepada Raksabumi untuk diberikan kepada kepala upacara. Gulungan dadung kemudian dibuka, satu ujung dadung dipegang sama kepala upacara dan yang satu lagi dipegang sama ketua RT. Selanjutnya kepala ucapara (pembawa upacra) membacakan rajah pamunah, yang diteruskan membaca tulak Allah, setelah itu, dadung ditarik sama kepala desa dan aparat yang lainnya serta ronggeng dalam tembang renggong buyut, setelah selesai dadung disimpan kemudian acara dilanjutkan dengan tayuban, ronggengna yaitu penggembala serta masyarakat yang hadir dalam upacar tersebut, mereka menari sampai pagi-pagi sampai jam 04.00 WIB. 
    Falsapah dari tradisi upacara pesta dadung yaitu upacara dadung merupakan kesenian tradisional Masyarakat Kabupaten Kuningan yang masih menjungjung tinggi nilai budaya leluhur dari tahun ke tahun. Nilai yang dalam tradisi ini salah satunya nilai reliji, dimana tradisi ini , dimana tradisi ini awal dari kebiasaan pengembala dan petani yang menjadi media mengungkapkan rasa syukur, sebab dadung pada waktu itu dipakai untuk mengikat kerbau atau sapi untuk membajak sawah. Selain itu pesta dadung merupakan media untuk penyebaran agama islam di kabupaten kuningan, sebab pada waktu itu pertama kali ajaran islam masuk ke kabupaten kuningan pesta dadung sudah menjadi pertungjukan dan hiburan masyaraktnya yang dimanfaatkan oleh Sunan Gunung Djati untuk menyebarkan agama islam.

ASAL UMASAL TRADISI PESTA DADUNG

Pesta dadung

Pesta dadung (tali tambang dalam bahasa sunda) merupakan kesenian tradisional berasal dari Desa Legokherang Kecamatan Cilebak Kabupaten Kuningan yang hidup ratusan tahun lalu.
Kendati dalam perjalanannya tidak semulus kesenian tradisi lainnya. Namun paratetua/sesepuh desa tidak mengharapkan tradisi itu punah. Sebab sudah berlangsung secara turun temurun dan menjadi salah satu ikon seni budaya Kabupaten Kuningan. Pesta dadung merupakan tradisi budak angon (pengembala kambing) di saat menggembalakan ternaknya di huma atau di ladang. diperkirakan tradisi itu mulai dikenal sekitar tahun 1818, kaulinan (permainanan) barudak yang memanfaatkan waktu luang sewaktu menggembala ini mengalami perubahan dari kaulinan budak angon menjadi sikap syukur penduduk setempat yang mata pencahariannya mengandalkan sektor pertanian dan peternakan setelah panen raya.
Menurut penuturan H. Dahlan (70) tokoh masyarakat Desa Legokherang, pesta dadung mulai diperkenalkan ke masyarakat luar desa sejak kepemimpinan desa yakni Kuwu Angkin Jiwa Laksana, sekitar Tahun 1818. Pada zaman itu, Angkin mendatangkan seperangkat alat gamelan salendro dan pelog (laras Sunda) dari Cirebon dan tambang atau dadung.
Dadung panjangnya kurang lebih dua belas meter tujuannya sebagai alat untuk menari dan menyanyikan lagu yang diiringi gamelan. Tarian yang digunakan jenis tari jalak pengkor hasil kreasi Angkin Jiwa Laksana. Sedangkan nyanyian sebagai pengiring, menggunakan musik kangsreng dan waledan. Kedua jenis musik ini hasil ciptaan Sunan Gunung Djati atau bisa disebut Wali Sanga. Sehingga tradisi pesta dadung memiliki beberapa visi. Melestarikan tradisi kehidupan agraris dan nilai-nilai penyebaran Islam. Soalnya pada zaman dahulu, penyebaran Islam lebih efektif dengan kesenian.